Menu Tutup

Proyek PLTMG Mangkrak Akibat Penerapan Hukum yang Salah

Jika ada pemahaman satu tujuan saja, yaitu mengutamakan kepentingan rakyat, maka Proyek Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Mesin (PLTMG) di Namlea sudah akan selesai dan dinikmati masyarakat di dua kabupaten tersebut, yaitu Buru dan Bursel.

Sayangnya, proyek tersebut terhenti karena adanya dugaan penerapan hukum yang salah terhadap pemilik tanah Fery Tanaya (FT). Pengusaha besar Buru telah membeli tanahnya untuk membangun proyek PLTMG 10MW besar-besaran.

Belum selesai proyeknya, Kejaksaan Negeri Maluku menuduhnya menjual tanah milik negara kepada PLN. Akibatnya, proyek dihentikan dan lokasi proyek saat ini menjadi seperti rumah hantu. Peralatan yang dianggarkan negara untuk dibeli dengan nilai tinggi kini menjadi besi tua. Dana negara hilang atau hangus karena proyek tidak jalan.

Ketua Pemangku Kepentingan Hukum Adat Bituanan Lilali, Sudirman Bessi mempertanyakan keanehan penerapan UU oleh Kejaksaan Agung Maluku dalam kasus dugaan korupsi di PLTMG Namlea.

Bessi mengakui penjelasan Kajati Maluku, Rorogo Zega, kepada pers di Ambon terkait kasus korupsi ini, semuanya bohong karena tidak sesuai dengan dakwaan dan fakta di persidangan.

Rorogo Zega dikatakan telah berbohong kepada penduduk Buru bahwa FT ditahan karena menggelembungkan anggaran dan menantang FT untuk mengungkapkan berapa banyak uang yang dikembalikan.

Ternyata fakta bahwa harga percobaan ganti rugi yang ditetapkan oleh Kantor Pelayanan Evaluasi Umum (KJJP) itu sudah ada di BAP yang diselidiki. Penipuan ini diduga dilakukan untuk menutupi delik pemalsuan undang-undang yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Negeri Maluku.

“Karena kebohongan itu dibangun secara sistematis mulai 2018 oleh Kejaksaan Agung. Setelah berhasil membentuk opini publik seputar kebohongan mereka dan merasa yakin orang percaya, Korps Adiaxa Maluku menangkap tersangka FT,” kata Bessi di Ambon. , Selasa (29/6).

Pasca penangkapan FT, Kejaksaan Agung kembali berbohong dan mengatakan bahwa tanah milik FT itu dibeli PLN itu milik negara. Sebagai masyarakat, kita selalu melihat dan memperhatikan siaran pers dari penegak hukum lain seperti polisi dan KPK. Apa yang ditafsirkan pimpinan selalu benar dan sesuai dengan fakta hukum. Namun, kasus FT ternyata berbeda dengan fakta persidangan. Bessie berkata: “FT dituduh sedang menyalahgunakan properti pribadinya, tanahnya.

Menurutnya, setelah dihadirkan sebagai saksi, Bessie bingung dengan kasus tersebut. Karena rupanya FT telah dituduh menjual peternakan milik negara. “Tuduhan ini sangat keji karena dari kakek dan ayah saya dan sekarang saya, Bethuanan Liliali, kepala pemegang hukum adat yang mengawasi tanah kebun, saya belum pernah mendengar tentang taman Irfbachht milik negara di Namlea.

Senada dengan itu, Talim Wamnebo, mantan kepala desa Namlea dua periode dan mantan anggota DPRD Kabupaten Buru, mengaku belum pernah mendengar adanya taman Irfbachht di Namlea.

Ternyata penafsiran Kejaksaan Negeri Maluku tentang tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara sebagai milik negara tertuang dalam ketentuan Pasal 1 Ayat (1) Keppres Nomor 32 Tahun 1979.

“Kajati Maluku, kami masyarakat biasa yang tidak kuliah hukum untuk gelar LLM juga memahami arti dan makna tanah yang dikuasai negara dalam UU UU Ketenagakerjaan 1960. Negara menguasai tetapi bukan negara yang memiliki. Negara mengatur peruntukan tetapi tidak dianggap pemilik. Atau aset negara. “Sayangnya, tuduhan jaksa agung terhadap FT memalukan,” kata Waminibo kepada media berita ambon maluku.

Namun, Wamnibo mengaku nasinya sudah berubah menjadi bubur. Proses persidangan interpretasi Kejaksaan Negeri Maluku dipatahkan oleh ahli Jane Matuankota, yang dihadirkan sendiri oleh penyidik OTP di persidangan.

Selain itu, penafsiran hukum oleh Kejaksaan Negeri Maluku dilanggar oleh ahli Tjahyo Arianto dari Universitas Gajah Mada yang dihadirkan oleh terdakwa FT. Setelah kedua ahli sepakat dan sepakat untuk menyatakan di hadapan majelis hakim bahwa tanah milik FT dan dilepas ke PLN bukan milik negara.

Demikian pula Ketua Mahkamah Agung yang mengadili perkara itu, Basti Tarrigan, menepis tudingan Kejaksaan Agung dengan membacakan secara tuntas pasal demi pasal isi Keppres Nomor 32 Tahun 1979, karena penyidik sengaja menghilangkan pasal-pasal lain dalam Kepres tersebut. .

“Keppres Nomor 32 Tahun 1979 jika digunakan dengan itikad baik dan itikad baik, kasus korupsi ini tidak akan ada. Karena Pasal 3 Keppres Nomor 32 Tahun 1979 yang sengaja dihilangkan oleh penyidik Kejaksaan Negeri Maluku jelas-jelas telah membantah tuduhan tersebut. tuduhan korupsi yang sama Pasal ini sengaja dihilangkan dengan tujuan untuk melibatkan atau melibatkan FT sebagai tersangka korupsi.” ungkapnya pada media berita ambon.

Saat selesai menghadiri persidangan, tambah Wamnebo, kami yang mewakili masyarakat Buru sangat optimis kasus korupsi ini bisa cepat selesai sehingga Proyek Strategis Nasional PLTMG bisa dilanjutkan kembali.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *