Menu Tutup

JAKSA PENUNTUT DIANGGAP BERLEBIHAN MENUNTUT FT

Kejaksaan Negeri (JPU) Maluku menunjukkan kediktatoran dan kriminalisasi berlebihan terhadap Fery Tanaya (FT), orang yang sebenarnya tidak melakukan tindak pidana.

Fery Tanaya (FT) dituntut 10,6 tahun penjara untuk denda 1 miliar rupiah, subsider selama enam bulan penjara, serta uang kompensasi Rs 6.081.722.902 subsider selama 4,3 tahun penjara. Tuduhan di buat atas dasar klaim tidak berdasar dan dibuat-buat karena selama persidangan tidak ada seorang pun bahkan proses persidangan yang menyebutkan korupsi FT.

Kuasa Hukum Fery mengatakan, dugaan korupsi pengadaan tanah untuk pembangunan proyek kepentingan umum strategis nasional yakni pembangunan PLTMG 10MW tahun 2016 di Dusun Jekku Besar, Desa Namelia, Kabupaten Namelia, Kabupaten Buru itu sarat rekayasa.

“Subjek diktator yang menjalankan kediktatoran dan melakukan hiperkriminalisasi adalah penyidik di Kejaksaan Negeri Maluku. Menggunakan topeng penegakan hukum untuk mengubah, memaksa tindakan non-pidana menjadi kriminal,” kata Henry Losekoy kepada radio berita maluku ambon, Rabu ( 14/7).

Penyidik menetapkan FT sebagai tersangka dalam proses penanganan kasus yang masih dalam tahap penyidikan. Sehingga bentuk kediktatoran tersebut adalah penyidik melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017, KUHAP dan segala bentuk aturan lain yang menentukan identifikasi tersangka.

Itu hanya berlaku dalam ruang lingkup penyelidikan. Memenuhi unsur-unsur yang melanggar hukum yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan perubahannya.

Penyidik mengkriminalisasi regulasi untuk memenuhi unsur tersebut, antara lain dengan memalsukan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-pokok Kebijaksanaan dalam rangka pemberian hak baru untuk mengalihkan tanah asal kepada hak Barat.

Ayat (1) Pasal 1 mengatur tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai dari Transformasi Barat, yang masa berlakunya akan berakhir paling lambat tanggal 24 September 1980 sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pada saat berakhirnya. Dari hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

Dugaan manipulasi tersebut adalah bahwa tanah yang dikuasai langsung oleh negara seperti yang ditunjukkan, telah dikriminalisasi oleh diktator Kejaksaan Negeri Maluku dengan mengubah arti tanah menjadi milik negara, sedangkan arti sebenarnya dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara adalah bukan. Tanah negara sebagaimana dimaksud.

Direkayasa, tetapi arti sebenarnya adalah tanah yang belum dikaitkan dengan hak atau disebut tanah negara, dengan dasar hukum bahwa tanah yang dikuasai langsung oleh negara adalah tanah negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Pertanian/Presiden BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pencabutan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

Tanah negara adalah tanah yang tidak mempunyai hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Menurut Hendry, kata dikuasai negara bukan milik negara. Sebagaimana dijelaskan oleh Undang-Undang Pokok Pertanian Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Pertanian, dalam pengertian umum Angka Romawi Bagian II (2), dikuasai dalam pasal tersebut tidak berarti memiliki.

Manipulasi bahwa FT tidak berhak mendapatkan ganti rugi atas tanah tersebut karena tanah tersebut adalah tanah negara, padahal tanah tersebut sebenarnya tidak menjadi aset negara, karena tidak terdaftar sebagai aset milik negara dimana tidak pernah ada sertifikatnya.

Hak pakai atau hak pengelolaan Atas nama Pemerintah Republik Indonesia, Pemerintah Provinsi dan BUMN yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 49 ayat (1) yang menyatakan bahwa “kepemilikan Negara/Wilayah berupa tanah yang dikuasai oleh Pemerintah/Kabupaten Tengah harus dibuktikan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

Ia kemudian menambahkan, Engineering The FT tidak berhak mendapatkan ganti rugi dalam menguasai tanah untuk kepentingan umum karena tanah tersebut bukan milik Frei Tanaya melainkan milik negara.

Jaksa Agung mengatakan bahwa FT mengatakan bahwa dia tidak memiliki hak untuk kompensasi adalah kebohongan besar yang dibuat oleh penyidik Kejaksaan Agung Maluku, karena kebenaran hukumnya adalah Feri Tanaya memiliki hak untuk kompensasi, menurut undang-undang Kehakiman Rakyat. Republik Cina. Indonesia No. 2 Tahun 2012 tentang Pembelian Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum.

Kemudian Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pembelian Tanah Untuk Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Selanjutnya Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perubahan Peraturan Presiden Presidensial.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *