Menu Tutup

Keluasan Makna Cinta dalam Islam

Keluasan Makna Cinta dalam Islam

Cinta dan kasih sayang adalah fitrah lumrah yang dimiliki manusia secara umum. Seringkali cinta itu hanya dihubungkan dengan perasaan sayang terhadap lawan jenis.

Tetapi, apakah benar hanya sebatas itu saja? Dan bagaimana pandangan Islam melihat makna cinta itu sendiri?

Dalam Islam, cinta hakiki yang pertama kali hendaknya didahulukan adalah cinta kepada sang Khaliq, Allah subhaanahu wa ta’ala.

Kemudian cinta kepada NabiNya dan para malaikatnya. Kemudian cinta kepada orang-orang beriman secara khusus. Kemudian barulah cinta kepada manusia secara umum.

Dalam Islam, cinta telah ada bahkan sejak awal mula bapaknya manusia yaitu Nabi Adam ‘alaihissalam.

Cinta yang suci adalah yang didasari dalam lubuk hati dan tidak melanggar apa yang menjadi larangan Allah ta’ala. Cinta harus dibuktikan dengan perbuatan dan tidak sekedar ucapan di lisan.

Cinta Kepada Allah Ta’ala

Cinta tertinggi dalam Islam adalah kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya. Sebab Dialah Allah yang memberi kehidupan, menciptakan manusia dan memberikan rezeki kepada makhluk ciptaanNya.

Maka cinta kepada Allah adalah yang pertama dan utama. Cinta kepadaNya itu dibuktikan dengan bentuk peribadatan. Sebab tujuan manusia diciptakan adalah beribadah kepadaNya saja tanpa menyekutukan dengan selainNya.

Dan bukti dari cinta itu adalah mengerjakan seluruh perintahNya serta menjauhi seluruh laranganNya.

Cinta Kepada Nabi dan Rosul Utusan Allah

Derajat cinta yang kedua adalah mencintai para Rosul utusan Allah ta’ala. Mencintai mereka dengan jalan mengerjakan apa yang diperintahnya dan menjauhi apa yang dilarang olehnya.

Perwujudan cinta kepada para Nabi ini disesuaikan dengan syariat di masa para Rosul di utus. Kita sebagai umat akhir zaman, maka mengambil Nabi Muhammad sebagai Rosul terakhir yang dijadikan tauladan dan panutan.

Dalam surat Ali Imran ayat 31 disebutkan, “Katakanlah jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad), maka Allah ta’ala akan mencintaimu dan mengampunkan dosa kalian. Karena sungguh Allah ta’ala itu maha pengampun lagi maha penyayang.”

Maka konskuensi dari cinta kepada Allah adalah cinta kepada Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam. Mencintai siapa yang dicintai Nabi dan membenci siapa yang dibenci Nabi.

Dengan cinta kepada Nabi inilah taqwa kita bisa meningkat. Dan dimudahkan jalan kita menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

Cinta Kepada Keluarga

Jenis cinta yang ketiga adalah cinta seseorang kepada anggota keluarganya. Cinta ini bisa dijalin antara seorang suami dengan istri atau sebaliknya. Cinta seorang bapak kepada anaknya atau sebaliknya. Dan seterusnya, cinta karena hubungan kekerabatan.

Keluarga inilah yang menjadi ladang dakwah pertama kali bagi seorang dai. Cinta ini dirangkai untuk meneruskan cinta kepada Allah ta’ala.

Dan cinta yang seperti inilah yang dihalalkan oleh Allah ta’ala dan Rosulnya. Sebab manusia itu dikaruniai hasrat dan keinginan kepada jenis kelamin yang berbeda.

Dan Allah ta’ala memberi jalan keluar yang halal dengan pernikahan. Seorang boleh saja mengungkapkan kepada pasangannya yang halal dengan perkataan ana uhibbbuka fillah (aku mencintaimu karena Allah) atau dengan ungkapan lainnya.

Kata mahabbah seperti itulah yang dicontohkan Nabi kepada para sahabatnya rodhiyallahu ‘anhum ajmain. Cinta yang diperbolehkan, kasih sayang yang memumpuk keimanan kepada Allah ta’ala.

Itulah makna cinta yang luas dalam Islam. Bahwa cinta itu tidak melulu harus bermakna perkawinan saja, tetapi lebih luas dari itu. Karena cinta ada konskuensi, karena cinta ada pengorbanan dan bukti.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *